Saturday, 7 December 2013

Analisis Unsur Intrinsik Novel "9 matahari"



9 Matahari

Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang diberikan akal dan hati untuk menciptakan ide-ide yang bermanfaat bagi orang lain. Tidak hanya sekolah sebagai media untuk belajar, tetapi juga ada yang lebih hebat dari pembelajaran di sekolah, yaitu pelajaran kehidupan.

Pada zaman sekarang banyak orang-orang yang sukses. Kunci kesuksesan bukan hanya pintar, tetapi rasa optimis harus ada dalam membangun kesuksesan. Hal yang membuat kita bisa bangkit dari keterpurukan adalah optimis dan selalu penuh dengan kerja keras. Rasa optimisme dalam hal belajar adalah sesuatu hal yang baik, apalagi dikombinasikan dengan kesabaran, ikhtiar dan tawakal.

Berdasarkan pernyataan di atas maka saya memilih untuk menganalisis unsur intrinsik novel “9 matahari” karya Yuli Anita dengan mengangkat tema “optimisme”.

Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1.    Apa saja unsur intrinsik yang terdapat pada novel “9 matahari”?
2.    Bagaimana karakter tokoh pada novel “9 matahari”?
3.    Alur apa yang digunakan dalam novel “9 matahari”?
4.    Latar apa saja yang digunakan penulis dalam cerita “9 matahari”?
5.    Apa amanat yang terkandung dalam cerita “9matahari”? yang disampaikan oleh penulis kepada pembaca?

Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1.    Untuk mengetahui  unsur intrinsik pada novel “9 matahari”
2.    Untuk menetahui karakter tokoh pada novel “9 matahari”
3.    Untuk mengetahui alur apa yang digunakan dalam novel “9 matahari”
4.    Untuk mengetahui latar apa saja yang digunakan
5.    Utuk mengetahui amanat yang terkandung pada novel “9 matahari”

Manfaat Makalah
1.    Dapat dijadikan motivasi bagi para masyarakat khususnya pelajar dalam menghadapi masalah dalam hal pendidikan
2.    Dapat dijadikan contoh untuk para pelajar lainnya dalam menentukan unsur intrinsik pada sebuah novel
Tema: Optimisme



Optimisme merupakan harapan yang selalu mengarah kepada kebaikan (KLBI: 414). Harapan telah mengarah kepada jiwa manusia sejak lahir. Ini dibuktikan dengan semakin majunya peradaban manusia dari masa-ke masa.

Pada novel “9 matahari” kita dapat melihat banyak sekali kata-kata yang diucapkan tokoh dalam hal optimis. Pernyataan tersebut telah dibuktikan dalam novel ini. Dimulai dari kesungguhan seorang anak yang ingin melanjutkan sekolah dari tingkat SMA menuju perkuliahan dengan biaya yang minim (Yuli Anita, 9 marahari: hal 2). Keinginan yang besar dalam menggapai cita-cita sempat terkubur karena tidak adanya biaya dan kurangnya dukungan dari orang tua (Ayah).

Optimisme yang dimiliki oleh tokoh, yaitu Matari Anas (Yuli Anita, 9 marahari: hal 10) dalam hal mencari uang untuk biaya kuliahnya. Matari yang begitu optimis dalam membangun cita-citanya terlihat dari kutipan berikut: “Kenapa hanya makanku yang aku pikirkan? Pernah kebayang bagaimana keinginan besar aku untuk kuliah, punya mimpi yang sama dengan orang lain? Aku ingin jadi sarjana.” ‘kan bisa sambil jalan, kita harus Optimis.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 3).
Sejak saat itu Kak Hera, kakak dari Matari Anas mencari dana kesana kemari demi sekolah yang diinginkan adiknya. Mulai dari keluarga terdekat, tetangga, bahkanteman tidak dari  Ayah dan Ibu mereka, semuanya tidak luput dari pencarian kakak dan adik untuk meminjam uang.

Dengan sikap yang optimis, maka dana yang terkumpul kemudian dicatat dibuku hutang pun berjumlah 3 juta (Yuli Anita, 9 marahari: hal 6).
Berkat optimis dan kerja keras Matari Anas akhirnya dia dapat melanjutkan sekolahnya di universitas Panaitan jurusan yang dia inginkan dan idam-idamkan yaitu Ilmu Komunikasi (Yuli Anita, 9 marahari: hal 8) dan yang dia masuki adalah program ekstensi.

Tempat kuliahnya yang jauh dari pusat kampus, yaitu di tengah kota Dago dan pusat kuliahnya terletak di dekat kota Sumedang. Ruang kelas yang kecil, bahkan lebih kecil dari sekolah SD nya. Hanya ada 5 ruang sebesar 6 x 10 meter: 1 aula, 1 Mushalla, 1 ruang petinggi (Yuli Anita, 9 marahari: hal 8).

Matari memang anak yang mempunyai keinginan dan tekad yang kuat dalam meraih cita-cita sebagai sarjana. Sekolah yang jauh dari tempatnya berada, yaitu Jakarta tepatnya tinggal di Gang Langgar, Rawa Bugel, sebuah daerah di perbatasan utara dan barat kota Jakarta. Dekat bandar udara internasional, Cengkareng, dan Teluk Jakarta (Yuli Anita, 9 marahari: hal 13).

Tempat yang kecil tidak menyulutkan keinginan Matari untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai perkembangan dunia, karena Matari merasa hanya bisa menjadi penonton (Yuli Anita, 9 marahari: hal 14). Matari sudah mulai gelisah dan segaera ingin ber-hijrah dari rumah yang ditempatinya, karena penduduknya yang berjubel, suasana rumah yang sudah tidak nyaman, dan kondisi yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk ditempati.

Dari cerita di atas kita bisa mengetahui bahwa sekolah yang jauh bukan menjadi penghalang untuk menciptakan cita-cita. Rasa dan sikap optimis telah mengalahkan rasa pesimisme dalam jiwa manusia. Seharusnya orang yang memiliki banyak kecukupan dalam hal materi bisa memakai peluangnya untuk bersekolah yang tinggi. “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit”, itulah yang dikatakan oleh Ir. Soekarno.



























Tokoh dan Penokohan

Pada novel “9 matahari” banyak sekali tokoh yang dibicarakan. Tetapi yang menjadi sorotan utama akan saya bahas kali ini.

Matari Anas merupakan tokoh utama dalam novel ini. Matari merupakan anak yang sejak dulu punya begitu banyak keinginan dan ingin berkembang  (Yuli Anita, 9 marahari: hal 10). Matari berkeinginan untuk les dan mengikuti bimbingan belajar, tidak hanya bimbingan belajar tetapi mengikuti les piano. Namun keinginan tersebut hanya satu yang terpenuhi yaitu bimbingan belajar, karena keterbatasan biaya. Keinginan untuk kuliah diBandung telah di cita-citakannya sejak SMP. Sikap tekad dan otimis Matari tertulis dalam hati kecilnya, hal ini terlihat dalam kutipan: “....bahwa aku akan ingin tetap bertahan di kota Bandung ini untuk tetap kuliah. Aku sangat yakin bahwa diriku ini akan menemukan sebuah kesempatan besar sebentar lagi. Yaa...sebentar lagi.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 21).

Perang batin yang dialami Matari muncul. Ditengah krisis keuangan dan fisik Matari yang lemah menuntutnya untuk memakai tongkat untuk pergi ke kampus. Uang dan yang dikirimkan oleh tanteku mulai tidak pasti. Matari menemukan kejanggalan,m dan setelah diselidiki ternyata uang tersebut hasil selingkuhannya dengan pria. Ini dibuktikan dalam kutipan: “Aku merasakan perang batin yang amat sangat. Aku jadi merasa begitu nista. Haruskah aku mempertahankan ini semua? Aku memperjuangkan impianku disebuah area abu-abu. Tanteku yang sudah berumah tangga berselingkuh, dalam kacamataku adalah sebuah perdebatan yang salah. Entah apa alasannya, tetapi buatku hal itu melanggar nilai kesetiaan. Aku merasakan idealismeku terinjak-injak.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 23).
Akhirnya Matari keluar dari lingkaran setan dan mencoba untuk mencari uang sendiri. Meski sulit, namun itu adalah satu-satunya jalan terbaik untuk menyelesaikan semua dosa-dosa dan menghapusnya.

Yati Ayati adalah Ibu dari Matari Anas. Beliau merupakan sunda tokoh yang dibuktikan dengan pengulangan kata pada namanya. Tutur katanya halus jika hendak menyampaikan sesuatu. Beliau juga orangnya rajin dibuktikan dengan kutipan: “Ibu rajin sekali mengururs rumah tangga dan membuat kue-kue tradisional.” Ibu Yati adalah Ibu yang begitu perhatian kepada anaknya, ini dibuktikan dengan kutipan berikut: “Jangan lupa sarapan atau minum teh manis biar perut hangat. Kamu ‘kan gampang masuk angin.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 12).

Bapak Matari Anas atau dengan dengan nama asli Brian Anas adalah seorang Ayah yang keras, bicaranya cepat, senang sekali menceritakan sejarah dan ilmu bumi (Yuli Anita, 9 marahari: hal 11-12). Bapakku menjadi sangat emosional ketika disingung mengenai pekerjaannya dan menyinggung perasaanku ketika berbicara ,asalah kuliahku (Yuli Anita, 9 marahari: hal 42).

Kak Hera adalah kakak dari Matari Anas. Usia mereka beranjak 4 tahun. Dia tekun, rajin menabung, dan hafalannya cepat sekali. Kak Hera adalah seorang yang tomboy, terlihat dalam kutipan: “Sikapnya acuh, juga terlihat judes. Ia suka Guns N’ Roses, sementara aku suka Eric Clapton.

Saska. Ia cantik sekali. Rambutnya panjang dan lurus, pakaiannya sangat padu padan dengan sepatunya. Kelihatannya dia orang yang cerdas (Yuli Anita, 9 marahari: hal 48).

Sansan adalah teman dari Matari Anas yang begitu baik. Dia telah berkali-kali membantu Matari ketika Matari kehabisan uang untuk membayar uang kost. Nama sebenarnya adalah sania Kantawinata. Orangnya cukup mampu untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, papinya yang seorang manajer disebuah perusahaan costumer goods tersandung kasus akibat perbuatan anak buahnya dan satu tim dirumahkan (Yuli Anita, 9 marahari: hal 158).

Nita adalah mahasiswa di jurusan Biologi IGB. Dia cantik, menarik, apa adanya, dan tomboy. Dia juga suka sekali dengan outdor activites (Yuli Anita, 9 marahari: hal 213). Dia juga suka menyelam dan mempunyai peliharaan ikan yang banyak.

Arga Panaitan
Dia adalah teman baik Matari yang Matari kagumi. Dia adalah seorang pekerja yang kreatif dan bekerja di CTV (Campus TV). “Arga tidak hanya kreatif, tapi dia memahami proses belajar alamiah, berpikir, berkreasi, berimajinasi, mengapresiasi, dan menyatukan memori dan menghafalnya” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 217). Perekonomian keluarganya hampir lumpuh karena ayahnya. Mobil putihnya menjadi icon anak kampus, termasuk aku (Matari).

Medi Indrianto
Mas Medi. Begitu kami memanggilnya. Dia seorang arsitek yang sudah 2 tahun memilih untuk tidak bekerja pada orang lain. Mas Medi mempunyai jiwa kepemimpinan dan semangat wirausahawan, terlihat dalam kutipan berikut: “ Jiwa kepemimpinan dan semangat wirausahanya yang tinggi, membuat ia menghanyutkan keinginannya bekerja pada orang lain.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 219).

Genta Kaligis
Dia adalah mantan penyiar kampus dan dia adalah orang yang paling mengedepankan gaya diantara sahabat Matari. Genta mempunyai hobi yang konstan, seringkali Genta mempunyai penghasilan dari hobinya, yaitu memotret dan mendokumentasikan dengan menggunakan SLR. Ini terungkap dalam kutipan berikut: “Ia hobi sekali memotret dan mendokumentasikan segala sesuatu dengan kamera SLR miliknya. Kamera yang juga jadi sumber penghasilannya karena sering disewakan untuk dokumentasi acara-acara yang diselenggarakan di kampus.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 270).

Muhammad Kaisar
Muhammad Kaisar biasa dipanggil Ikal adalah orang yang rapih dan teratur. Orang yang merencanakan segala sesuatu dengan matang dia lah orangnya. Dia orang yang tekun, terlihat dalam kutipan berikut: “....ia tergabung dalam sebuah kesenian budaya angklung, sebuah komunitas yang kemudian berkat ketekunan dan niatnya begitu besar memajukan lingkungan tatar Sunda, mampu membawanya keliling Eropa untuk mempromosikan kesenian Sunda, mampu membaginya keliling Eropa untuk mempromosikan kesenian Sunda.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 222).

Arga Panuntun, Medi Indrianto, Genta Kaligis, dan Muhammad Kaisar adalah empat serangkai yang menjadi teman Matari. Mereka semua berkantor di seberang kampus IGB (Institut Ganesha Bandung), yaitu CTV.

Tokoh yang jarang atau sedikit diceritakan adalah tokoh lataran. Tokoh ini hanya berfungsi sebagai latar cerita saja. Walaupun tokoh lataran sangat sedikit dalam bercerita, namun kehadirannya mempunyai peranan penting.

Tokoh lataran diantaranya adalah:
Shinta yang pengetahuannya luas (Yuli Anita, 9 marahari: hal 17), Suriman yang rajin dan pintar sekali (Yuli Anita, 9 marahari: hal 17), Elis Kartika yang mempunyai logat Sunda yang kental (Yuli Anita, 9 marahari: hal 49), Drs. Gani Prmudya, M.Si. Dosen Unpan (Yuli Anita, 9 marahari: hal 50). Pak Hanif, Tomi, Alfa, Kang Danu, Abdul, Pak Wanisar, Pak Ageng, Ibu Putri Ningsih,, Mirna, Mbak Lena, Mami Hesti, Arva, Pandu, Tante Erna, Om Nirwan, Arga, dan Kak Deva





Latar

Setiap cerita pasti mempunyai latar. Latar terbagi menjadi tiga macam, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar suasana. Begitu pula dalam cerita pada novel “9 matahari”. Cerita pada novel ini menggunakan latar tempat rumah, universitas, dan Bandung. Rumah menjadi tempat pertama yang diceritakan, seperti dalam kutipan berikut: ”Kami tinggal di Gang Langgar, Rawa Bugel. Sebuah daerah di perbatasan utara dan barat kota Jakarta.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 13). Tidak hanya di rumah sebagai tempat, tetapi kamar Matari di Bandung juga diceritakan, seperti kutipan berikut: “Radio di kamarku sudah mulai terdegar berisik.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 43).

Latar tempat yang digunakan pengarang yaitu Universitas. Universitas  yang digunakan adalah Universitas Panaitan (Unpan). Disebutkan Matari, pertama kali ketika dirinya mencoba ujian UMPTN dan Matari diterima. Dapat dibuktikan dengan kutipan berikut: “Bulan lalu Aku melihat pengumuman, Universitas Panaitan (Unpan) membuka pendaftaran untuk program ekstensi...” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 34). Lingkungan kampus menjadi sorotan juga. Pembaca menjadi dan terbawa oleh suasana oleh imajinasi yang nyata dan mendetail. Hal ini terlampir dalam kutipan berikut: “Hari itu pukul 7.15, Aku sudah sampai di kampusku. Suasananya masih sepi. Aku memperhatikan disekelilingku. Hanya butuh waktu 10 menit saja untuk menghafalkan kelas, ruangan, dan segalanya yang ada di sana.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 56).

Latar tempat yang ketiga adalah Bandung. Dibuktikan dengan tempat-tempat yang diceritakan oleh pengarang kepada pembaca. Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan berikut: “Tapi kalau kamu butuh sharing, Mami adalah orang tua terdekat kamu di Bandung ini, sayang.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 184).

Sedangkan latar waktu yang digunakan oleh pengarang dalam novel “9matahari” adalah kampus. Ini dibuktikan dengan kutipan berikut: “Sudah pukul 8.45, tapi belum ada tanda-tanda kelas akan dimulai.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 50). Tidak hamya di kampus, Dago pun menjadi latar waktu. Ketika Matari mempunyai masalah dia berdoa kepada tuhan pada malam hari, seperti di dalam kutipan berikut ini: “Malam itu, aku bercakap-cakap lebih lama dengan tuhanku.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 185).

Latar suasana yang digunakan dalam novel “9 matahari” yaitu rasa optimisme yang kuat, rasa percaya diri yang hebat, dan semangat juang yang tinggi. Optimis bahwa dirinya bisa bersekolah hingga S1, percaya bahwa cobaan-cobaan yang dihadapi akan cepat berlalu, dan semangatnya untuk mencapai cita-cita. Semua terlihat pada kutipan berikut: “Tapi yang pasti, aku tidak mau jadi buruh pabrik seperti bapakku. Atau....kalau aku menjadi seorang ibu, aku bisa menjadi ibu yang pintar berbisnis, mengajar, menulis, dan aktifitas lainnya yang tetap bisa memberdayakan diriku menjadi seorang wanita yang berguna bagi orang-orang di sekelilingku. Aku ingin menjadi seorang. Aku ingin dunia melihat bahwa aku ada! Dengan impianku...ya, kuliah aku pasti bisa melihat dunia atau bahkan menjadi dunia bagi orang lain.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 39).


























Amanat

Amanat yang terkandung dalam novel “9 matahari” yaitu kejarlah cita-cita dan dapatkan cita-cita itu dengan optimis, sabar, dan ikhtiar sehingga cita-cita tersebut dapat diraih dengan rasa puas. Sangat miris sekali melihat pendidikan yang ada di sekitar kita, terutama teman-teman kita yang mempunyai biaya yang cukup untuk sekolah tapi sering membolos dan malas untuk pergi ke sekolah. Melihat Matari yang begitu semangatnya untuk mendapatkan sekolah yang tinggi membangkitkan rasa optimisme kita dalam meraih sebuah ilmu.

Kekurangan biaya bukanlah hal yang menjadi penghalang untuk mencari sebuah ilmu, mungkin bukan sebuah ilmu tetapi tepatnya berjuta-juta ilmu. Selama ada kemauan, usaha dan dibantu oleh do’a, maka usaha kita tidak sia-sia dan tidak hanyacita-cita yang kita dapat, tetapi juga pahala yang diberikan Allah SWT kepada kita.

Kesabaran juga menjadi faktor pendorong untuk meraih kesuksesan dan cita-cita. Orang yang sabar adalah pemenang yang finish nya terakhir disaat yang lain finish lebih dahulu dengan penuh emosi. Sabar dan bertawakal, insya Allah dimudahkan dalam segala usaha.

Dalam segala urusan, masalah, dan hal-hal yang membuat kita merasa pusing dalam menghadapi kehidupan maka keluarga, kerja sama, persaudaraan, dan saling membantu adalah kunci untuk keluar dari segala masalah yang kita hadapi.

















Daftar Pustaka

Sofiyah Ramdhani E.S. 2004. Kamus Lengakap Bahasa Indonesia. Surabaya: Mitra Pelajar

Anita Yuli. 2008. 9 matahari. Jakarta: PT Grasindo













                               







Sudut Pandang

Sudut pandang dalam sebuah cerita terbagi beberapa, yaitu orang pertama pelaku utama, orang ketiga pelaku sampingan, dan orang ketiga serba tahu. Di dalam novel “9 matahari” menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama, cirinya adalah si pelaku menggunakan kata “Aku”. Ini dibuktikan dengan kutipan berikut: “Sayang kebanyakan orang hanya memandang aku sebagai bagian dari sisi gempita itu. Ingin rasanya mengundurkan diri dari dunia gempita itu, tapi selanjutnya aku kerja apa? Aku belum tahu seorang Tari ini mempunyai kemampuan apa lagi.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 146)

Ketika Matari mengingat masa lalunya, Matari selalu berbicara dalam jiwanya. Ini terbukti dengan kutipan beriku ini: “Aku seperti baru kembali dari sebuah perjalanan panjang. Aku tersedak, batuk-batuk.” (Yuli Anita, 9 marahari: hal 63). Kalimat “Aku” dalam novel “9 matahari” sangat banyak yang tertuang. Perang batin yang panjang membuat pelaku menjadi lebih hidup dan berwarna.

Sunday, 20 October 2013

Kebudayaan Masyarakat Baduy

Orang Kanekes

Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.

Etimologi

Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Wilayah

Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C.
Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.

Bahasa

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibat

Kelompok masyarakat

Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
  • Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
  • Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
  • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
  • Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
  • Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
  • Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
  • Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
  • Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
  • Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
  • Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
  • Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
  • Tak sedikit diantara mereka yang telah terpengaruh ajaran salah satu dari agama yang diakui pemerintah Indonesia
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

Asal-usul

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.

Kepercayaan

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, . Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

Pemerintahan

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Mata pencaharian

Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

Interaksi dengan masyarakat luar

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
(Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes)

Saturday, 28 September 2013

Karya Tulis

1.1. Latar Belakang
Dalam karya tulis ilmiah ini, penulis ingin berbagi tentang “Manfaat Mempelajari Bahasa Tubuh untuk Kehidupan Sehari-hari yang akan mengungkap kebenaran dibalik bahasa tubuh manusia yang kadang-kadang jika berbicara secara verbal biasanya berbohong.
Kebohongan manusia tidak bisa dideteksi dengan cara lisan, tetapi gerak tubuh dan gerak mata yang akan ‘berbicara’. Pada hal ini, ilmu yang mempelajari tentang bahasa tubuh adalah Microexpression. Dari sebuah tulisan dan tanda tangan juga dapat dilihat karakter dan perasaan hati seseorang. Ilmu yang mempelajari tentang itu adalah Graphology.
Microexpression adalah ekspresi wajah yang diperlihatkan sesuai dengan emosi yang dialami. Biasanya, terjadi pada situasi tertekan, dimana seseorang telah kehilangan atau mendapatkan sesuatu yang ditunjukan dengan ekspresi wajah. Sangat sulit untuk mengetahui Microexpression asli atau palsu.

1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah ini adalah:
1.     Apa manfaat mempelajari bahasa tubuh?
2.     Bagaimana jika kita menerapkan bahasa tubuh untuk kehidupan sehari-hari?
3.     Bagian tubuh manakah yang dapat dijadikan acuan terhadap emosi seseorang?

1.3. Tujuan Penelitian
1.     Mengetahui emosi seseorang lewat bahasa tubuh yang selama ini belum pernah diketahui oleh orang banyak
2.     Memanfaatkan bahasa tubuh sebagai ilmu untuk melihat emosional seseorang yang sebenarnya bisa dipelajari
3.     Memanfaatkan bahasa tubuh untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
4.     Menerapkan kejujuran di dalam kehidupan. Bila ada seseorang berbohong lalu kebohongannya diketahui oleh kita, maka dia tidak akan berbohong lagi (karena takut kebohongannya diketahui)


2.4.  Pengertian Manfaat:
Manfaat atau guna, laba. (KBBI, 1998, 388)
Manfaat; faedah. (KBBI, 1987,.......).

Manfaat menurut penulis adalah sesuatu yang menguntungkan dan; atau bisa dipergunakan


2.5. Pengertian Mempelajari:
Pelajar: murid, mahasiswa; Mem-pelajar-i: Sedang mencari/menganalisis ilmu. (KBBI, 2004, 435).

Mempelajari menurut penulis adalah proses mengenali dan menelaah suatu ilmu.


2.6. Pengertian Bahasa:
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengindentifikasi diri. (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2004, 65).

Menurut Penulis, bahasa adalah isyarat untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar manusia


2.7. Pengertian Tubuh:
Tubuh adalah bagian fisik materi manusia atau hewan, yang dapat dikontraksikan dengan roh, sifat, dan tingkah laku. Tubuh sering digunakan dalam konteks penampilan, kesehatan, dan kematian. (http://www.wikipedia.org)

Menurut penulis, tubuh adalah anggota gerak yang telah diciptakan Allah S.W.T untuk dipergunakan sebaik mungkin. Contoh: Beribadah; melakukan kebaikan; dll.



2.8. Pengertian Kehidupan:
Kehidupan adalah ciri yang membedakan objek yang memiliki isyarat dan proses penopang diri dengan objek yang tidak memilikinya, baik karena fungsi-fungsi tersebut telah mati atau karena mereka tidak memiliki fungsi tersebut dan diklasifikasikan sebagai benda mati. (http://www.id.m.wikipedia.org/wiki/kehidupan).

Menurut penulis, kehidupan adalah suatu amanat yang telah disepakati oleh Allah S.W.T. kepada Adam yang bertujuan untuk beriman kepada rukun iman dan beribadah kepada Allah S.W.T


2.9. Pengertian Sehari-hari:
Sehari-hari; tiap-tiap hari: Pekerjaannya adalah menyapu lantai. (http://www.m.artikata.com).

Menurut penulis, pengertian sehari-hari adalah sesuatu pekerjaan/tindakan yang diulang secara terus-menerus; bersifat konsistensi/istiqomah.

Kesimpulan



1. Ternyata, setelah melakukan penelitian, mengumpulkan data dari berbagai macam sumber dan wawancara, ternyata ada 7 ekspresi emosi wajah microexpression yang bersifat universal, yaitu: Marah; senang; jijik; ketakutan; penghinaan; sedih; kejutan.

2.ketika  wawancara, penulis memberikan kertas kepada salah satu narasumber dan penulis meminta agar menuliskan tulisan “the quick brown fox jumps over the lazy dog”, kemudian setelah dilihat; karakter narasumber adalah cenderung berani untuk melakukan sesuatu, namun tidak berani mempertanggung jawabkan; mudah emosi dan selalu berfikiran negatif; memberikan nasihat kepada orang lain, tetapi dia sendiri cenderung untuk memendam masalahnya, dan ketika suasana santai dia memberberkan rahasianya kepada orang lain yang sebenarnya tidak penting; kurang sistematis dan cenderung memikirkan hasil.

3. Ternyata pada dasarnya microexpression ada dua macam, yaitu microexpression asli dan microexpression palsu.

4. Microexpression asli adalah bahasa tubuh yang secara spontan (tanpa berfikir terlebih dahulu). Kecepatan microexpression ini dalah 1/25 sampai ½ detik.

5. microexpression palsu adalah bahasa tubuh yang dilakukan dengan cara dipaksa agar tidak ketahuan emosionalnya (biasanya dilakukan oleh pisikolog senior).

6. Arah dari gerakan bola mata menunjukan; kebohongan, kejujuran, dan mengingat. Contoh: Bola mata menuju arah kiri= berbohong. Bola mata menuju arah kanan= jujur. Bola mata menuju atas= berfikir (berfikir dalam konteks keterangan waktu; yang telah lalu). Bola mata menuju arah bawah kanan: Penyesalan yang mendalam.

7. Arah dari alis juga bisa menunjukan; marah, sedih, senang, sinis, menantang seseorang, dan heran. Contoh: Kepala menunduk, mata ke atas menuju alis, alis mengkerut ke bawah= marah. Sekitar daerah dagu dan mulut menjadi mengkerut, alis mengkerut mengarah ke atas= sedih. Dagu dan mulut terbuka, pipi terangkat, ada garis di bagian sebelah kanan kiri kulit mata= senang. Alis mengkerut ke atas/kebawah, hidung mengembang, daerah dagu sebelah kanan dan mulut mengkerut= sinis. Bagian dagu dan mulut datar, alis mengarah ke atas= menantang seseorang. Alis mengkerut, dagu melebar, mulut dibuka= heran.

8. Ketika gigi bagian atas menggigit bibir bagian bawah= Gugup (Dengan syarat keterangan; telah terjad). Ketika gigi bagian atas menggigit bagian bawah bibir, alis mengkerut ke atas= ketakutan (Bisa juga takut rahasianya terbongkar). Ketika gigi bagian bawah menggigit bagian atas bibir, alis mengkerut mendekati rongga hidung= kesal

9. Jika kita mengajukan pertanyaan kepada seseorang, lalu terjadi kontraksi bahu ke belakang, alis mengarah ke atas dan pupil terlihat besar berkontraksi selama ½ detik, dapat disimpulkan bahwa pertanyaan yang kita ajukan adalah sesuai dengan apa yang dia ketahui *(bisa juga karena seseorang tersebut kaget, sehingga mengatakan: “Kenapa dia bisa tahu soal kebenaran ini?)